Jakarta, Andalasnews.com – Ancaman kerugian besar kembali menghantui cadangan pangan nasional. Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dwi Andreas Santosa, mengungkapkan bahwa lebih dari 100.000 ton beras impor milik Perum Bulog berpotensi berubah status menjadi disposal, atau tidak layak konsumsi, pada tahun ini. Nilai kerugian diperkirakan mencapai Rp 1,2 triliun jika stok tersebut benar-benar tidak bisa dimanfaatkan.
Menurut Dwi, stok beras yang kini menumpuk di gudang Bulog jumlahnya cukup besar, berkisar antara 1,7 hingga 1,9 juta ton. “Ini merupakan sisa impor tahun lalu yang masuk ke Indonesia sekitar Februari 2024. Jika kita hitung sejak masa penyimpanan di negara asal, usia beras tersebut hampir menyentuh dua tahun, dan itu jelas sangat tidak layak konsumsi,” tegasnya saat ditemui di kantor Ombudsman RI, Selasa (26/8/2025).
Kualitas Menurun Meski Tampilan Masih Premium
Dwi menuturkan, meskipun beras tersebut termasuk kategori premium dengan kadar broken (beras patah) di bawah 5 persen, penurunan mutu tidak bisa dihindari. “Dari luar mungkin masih terlihat bagus. Tapi ingat, kualitas rasa dan kandungan gizinya pasti sudah menurun drastis. Apalagi jika penyimpanan terlalu lama, beras akan kehilangan aroma dan rasa alaminya,” ujarnya.
Ia menambahkan, risiko penurunan mutu semakin besar karena proses distribusi yang panjang. “Jangan lupa, sebelum tiba di Indonesia, beras itu sudah melalui proses penyimpanan di negara asal, mungkin berbulan-bulan. Jadi ketika masuk ke gudang Bulog, usianya sudah tua. Dan sekarang, setelah satu setengah tahun di sini, jelas tidak layak dimakan,” katanya.
Apa Itu Disposal?
Istilah disposal, jelas Dwi, berarti beras tidak dapat lagi digunakan untuk tujuan awalnya sebagai bahan pangan. “Bukan berarti langsung dibuang, tapi dialihkan untuk keperluan lain, misalnya pakan ternak atau bahan industri,” katanya. Namun, opsi tersebut pun tidak mudah.
“Kalau sudah terkontaminasi aflatoksin (racun dari jamur tertentu), bahkan untuk pakan ternak pun tidak boleh. Satu-satunya alternatif adalah dijadikan bahan baku industri etanol. Sayangnya, di Indonesia industri etanol berbasis beras hampir tidak ada. Jadi kemungkinan besar beras itu benar-benar menjadi limbah tak bernilai,” paparnya.
Ancaman Kerugian Negara dan Beban Bulog
Jika benar terjadi, kerugian negara tidak main-main. Nilainya mencapai Rp 1,2 triliun, belum termasuk biaya penyimpanan dan pemeliharaan stok di gudang. Kondisi ini juga menambah beban Bulog yang setiap tahun ditugaskan menjaga ketersediaan pangan nasional.
Pengamat kebijakan pangan, Rudi Hartono, menilai masalah ini terjadi karena lemahnya perencanaan impor.
“Impor dilakukan dalam jumlah besar tanpa memperhitungkan kebutuhan riil dan daya serap pasar. Akibatnya, stok menumpuk, kualitas turun, negara rugi,” katanya saat dihubungi terpisah.
Peringatan untuk Pemerintah
Kasus ini menjadi pelajaran berharga agar pemerintah lebih hati-hati dalam merumuskan kebijakan pangan, terutama terkait impor.
“Jangan sampai beras impor yang seharusnya menolong masyarakat justru menjadi beban keuangan negara. Kita harus beralih pada produksi dalam negeri yang lebih berkelanjutan,” tegas Dwi.
Dengan potensi kerugian triliunan rupiah, nasib stok beras impor Bulog kini berada di persimpangan. Apakah bisa diselamatkan untuk fungsi alternatif atau benar-benar menjadi limbah? Jawabannya bergantung pada langkah cepat pemerintah dalam beberapa bulan ke depan.
(JFR)