Pariaman – Andalasnews.com | Suasana di kawasan wisata Pantai Kata, Kota Pariaman, pecah menjadi tegang pada Minggu (26/10/2025) sore. Aksi penertiban yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terhadap pedagang payung ceper berujung bentrokan. Ironisnya, salah satu anggota Satpol PP justru menjadi korban pemukulan oleh pedagang yang merasa diperlakukan tidak adil.
Peristiwa ini menjadi sorotan tajam publik setelah rekaman kericuhan tersebar di media sosial. Dalam video berdurasi sekitar satu menit itu, terlihat sejumlah petugas Satpol PP adu mulut dengan pedagang yang menolak lapaknya ditertibkan. Suasana cepat memanas, hingga terdengar suara teriakan dan satu petugas terkena pukulan.
Kepala Satpol PP Kota Pariaman, Alfian, membenarkan adanya insiden tersebut. Ia menyebutkan bahwa penertiban dilakukan karena pedagang melanggar aturan dan mengganggu estetika kawasan wisata.
“Kami hanya menjalankan tugas sesuai peraturan daerah. Sebelumnya sudah dilakukan sosialisasi dan pendekatan agar Pantai Kata bisa ditata lebih baik,” ujar Alfian kepada Andalasnews.com.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan “persuasif” pemerintah rupanya tak berjalan sebagaimana mestinya. Pedagang yang sehari-hari menggantungkan hidup di kawasan wisata mengaku tidak mendapat solusi jelas dari pemerintah mengenai tempat relokasi atau pengaturan baru.
Salah seorang pedagang yang enggan disebut namanya menuturkan, mereka hanya ingin kepastian dan ruang untuk mencari nafkah.
“Kami tidak menolak aturan, tapi jangan langsung disuruh bongkar. Tolong kasih tempat yang layak dulu. Ini kami cuma jualan kecil buat hidup,” keluhnya dengan nada kesal.
Penertiban itu dilakukan menjelang agenda event memanah berkuda yang akan digelar Pemerintah Kota Pariaman di kawasan Pantai Kata. Pemerintah beralasan, area harus terlihat rapi dan nyaman untuk menyambut wisatawan.
Namun, di balik niat penataan itu, muncul pertanyaan besar: Apakah penertiban demi event pariwisata harus mengorbankan para pedagang kecil?
Ketegangan di Pantai Kata menjadi gambaran klasik lemahnya koordinasi antara pemerintah daerah dan masyarakat kecil. Penegakan aturan memang penting, tapi tanpa pendekatan sosial dan solusi ekonomi yang manusiawi, kebijakan yang seharusnya untuk kebaikan bersama justru memicu kemarahan publik.
Warga sekitar bahkan menilai, cara Satpol PP menertibkan terkesan “terburu-buru” dan tidak memprioritaskan komunikasi.
“Kalau memang mau ditata, libatkan pedagang dalam rencana itu. Jangan hanya datang dengan surat dan tindakan keras. Mereka juga warga Kota Pariaman,” ujar salah satu tokoh masyarakat setempat.
Kini, publik menanti langkah tegas Wali Kota Pariaman untuk mengevaluasi kinerja Satpol PP dan mencari jalan tengah yang adil. Jangan sampai semangat menata pariwisata justru mencederai rasa keadilan sosial dan kemanusiaan di akar rumput.
Kasus ini menjadi alarm bagi pemerintah daerah lainnya: bahwa penegakan aturan tanpa empati hanyalah bentuk lain dari arogansi kekuasaan.
Reporter: Jon
Editor: Andalasnews.com





