Tragedi di Balik Cabut Gigi: Hengki Saputra Alami Kebutaan, Keluarga Tuntut Keadilan dan Pertanggungjawaban Klinik

Foto: istimewa
Foto: istimewa

Padang Pariaman, Andalasnews.com – Tak ada yang pernah menyangka bahwa sebuah prosedur medis sederhana seperti mencabut gigi bisa menjadi awal petaka besar. Itulah yang kini membekas dalam hidup Hengki Saputra (30), pria asal Korong Koto Tabang, Nagari Lurah Ampalu, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Padang Pariaman. Ia kini hidup dalam gelap—secara harfiah—akibat kehilangan penglihatan total setelah menjalani pencabutan gigi di sebuah klinik di Kota Pariaman.

Peristiwa bermula pada akhir tahun 2022. Saat itu, Hengki mengeluhkan rasa nyeri karena gigi tumbuh tidak normal di langit-langit mulut bagian kanan. Rasa sakit yang makin menjadi memaksanya mencari pertolongan medis. Ia pun mendatangi sebuah klinik gigi dengan harapan mendapat solusi atas gangguan mulut tersebut.

Namun, kunjungan itu justru menjadi awal dari penderitaan panjang.

“Dokter langsung mencabut giginya tanpa ada observasi lanjutan atau rujukan spesialis. Kami pikir itu aman karena pihak klinik bilang tidak akan ada dampak serius,” ujar Nurhasni, ibu Hengki, saat ditemui Andalasnews.com, Selasa (8/7).

Namun kenyataannya sangat berbeda. Hengki mengalami pendarahan hebat tak lama setelah pencabutan. Beberapa hari kemudian, ia mulai kehilangan daya penglihatan secara bertahap, hingga akhirnya buta total.

“Kami sekeluarga sudah habis-habisan. Jual 15 emas untuk pengobatan. Tapi waktu kami minta tanggung jawab dari pihak klinik, kami malah diabaikan. Bahkan nomor kami diblokir,” tutur Nurhasni dengan mata berkaca-kaca, menahan tangis dan kemarahan.

Yang lebih menyakitkan, lanjutnya, adalah respons dari pihak klinik yang cenderung meremehkan kondisi Hengki.

“Mereka sempat bilang, ‘masa iya buta karena cabut gigi’. Seolah-olah penderitaan kami ini lelucon,” kata Nurhasni lirih.

Sempat dilakukan mediasi oleh pihak klinik, namun tak berujung pada penyelesaian apa pun. Hingga kini, tidak ada klarifikasi resmi, tidak ada permintaan maaf, dan tidak ada langkah tanggung jawab yang diambil pihak medis bersangkutan.

Bukan Sekadar Keluhan, Tapi Dugaan Malpraktik

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, jelas ditegaskan bahwa setiap tenaga medis wajib memberikan pelayanan sesuai standar profesi. Kelalaian atau kesalahan yang menyebabkan kerugian pasien masuk dalam kategori malpraktik medis, dan dapat dituntut secara perdata maupun pidana.

Pasal-pasal hukum tersebut menyebut bahwa setiap pasien memiliki hak atas pelayanan yang aman dan bertanggung jawab, serta berhak memperoleh ganti rugi bila terjadi kelalaian medis.

Diamnya Institusi, Gelapnya Penegakan

Ironisnya, meski telah hampir satu tahun berlalu, kasus ini tak juga menyentuh perhatian aparat penegak hukum maupun instansi kesehatan terkait. Laporan keluarga Hengki tampak jalan di tempat. Tidak ada penyelidikan, tidak ada pemeriksaan ulang terhadap prosedur yang dijalani Hengki.

“Sampai sekarang kami menunggu. Tapi tidak ada yang datang bantu kami, tidak ada yang mengusut. Apa kami ini tidak penting?” ungkap Nurhasni penuh kecewa.

Hidup dalam Gelap, Tapi Masih Menyalakan Harapan

Kini Hengki tak lagi bisa melihat. Aktivitasnya terbatas. Hidupnya berubah drastis. Namun satu hal yang tak padam adalah semangatnya untuk hidup dan harapan keluarganya untuk keadilan.

“Sekarang kami hanya berharap: ada pihak berwenang yang peduli. Bukan hanya untuk Hengki, tapi agar tidak ada lagi yang jadi korban,” ujar Nurhasni tegas.

Hingga berita ini dipublikasikan, pihak klinik belum memberikan pernyataan resmi. Sementara itu, Hengki dan keluarganya terus menunggu… dalam sunyi, dalam gelap, dan dalam doa agar suatu saat keadilan menemukan jalan pulangnya.

 

 

 

Reporter: Ismail

Editor: Ismail Marjuki

Redaksi Andalasnews.com

Email: redaksi@andalasnews.com

Hotline Investigasi

101 Dilihat
Berita Terbaru
Berita Terbaru
Kabar Daerah
Terpopuler
Pengunjung