Sejarah Panjang Tabuik Pariaman dan Peristiwa Karbala

IMG-20250706-WA0009

Andalasnews.com Sejarah panjang dan sistematis tentang Tabuik Pariaman, dari asal-usulnya hingga menjadi festival budaya yang ikonik di Sumatera Barat:

  • Asal Mula : Jejak Sejarah di Padang Karbala

Tabuik berakar dari peristiwa tragis Perang Karbala yang terjadi pada 10 Muharram 61 Hijriyah (680 M). Dalam peristiwa ini, Imam Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, bersama keluarga dan para pengikutnya, dibantai oleh pasukan Yazid bin Muawiyah dari Bani Umayyah di padang Karbala (Irak sekarang). Tragedi ini dikenang oleh umat Muslim, khususnya kelompok Syiah, sebagai simbol pengorbanan, perjuangan melawan kezaliman, dan keteguhan iman.

  • Masuknya Tradisi Tabuik ke Nusantara

Tradisi memperingati wafatnya Imam Husain berkembang di berbagai belahan dunia Islam. Di wilayah India, terutama di kalangan Muslim Syiah keturunan Tamil (India Selatan), berkembang ritual memperingati Asyura dengan membuat tabut/tabuik (peti atau tandu) yang dihias menyerupai menara atau kendaraan kuda bersayap (buraq), yang diyakini membawa jenazah Imam Husain ke langit.

Tradisi ini sampai ke Nusantara pada awal abad ke-19, ketika pasukan kolonial Inggris (Tentara Sepoy) yang berasal dari India dipekerjakan di wilayah Bengkulu dan sekitarnya. Sebagian dari mereka menetap dan menyebarkan budaya mereka. Pada tahun 1831, seorang tokoh keturunan Tamil bernama Syekh Burhanuddin (bukan Syekh Burhanuddin Ulakan) memperkenalkan tradisi tabuik ini ke Pariaman, pesisir barat Sumatera.

  • Perkembangan di Pariaman : Dari Ritual Keagamaan ke Festival Budaya

Di Pariaman, tabuik diterima oleh masyarakat dan mulai diadakan secara rutin setiap tahun dalam rangka menyambut bulan Muharram. Masyarakat Minangkabau, meskipun bermazhab Sunni dan tidak mengikuti ajaran Syiah, tetap menerima tradisi ini karena nilai-nilai kepahlawanan, keberanian, dan pengorbanan yang dikandungnya selaras dengan falsafah hidup Minangkabau.

Seiring waktu, tradisi tabuik berkembang menjadi festival budaya lokal, tidak lagi bersifat keagamaan sektarian, dan mengalami proses akulturasi dengan adat Minangkabau.

  • Struktur dan Simbol Tabuik

Tabuik adalah struktur raksasa setinggi 10-15 meter, berbentuk menara yang dihiasi ornamen warna-warni, lengkap dengan kuda bersayap (buraq), kepala manusia, dan panji-panji perak. Pembuatan tabuik memerlukan waktu berminggu-minggu, dan melibatkan banyak tenaga dari komunitas.

Di Pariaman, tabuik dibuat oleh dua kelompok besar :

Tabuik Pasa (Kampung Pasar)

Tabuik Subarang (Kampung Seberang)

Masing-masing kelompok akan membangun tabuik mereka sendiri dan mengaraknya ke seluruh penjuru kota pada puncak perayaan.

  • Rangkaian Tradisi Tabuik (1-10 Muharram)

Festival Tabuik memiliki tahapan ritual khas selama sepuluh hari pertama Muharram:

1. Mengarak Panja (1 Muharram)

Melambangkan pengambilan potongan tubuh Imam Husain di sungai Eufrat. Dilakukan dengan prosesi membawa benda keramat dari laut ke darat.

2. Manabang Batang Pisang (5 Muharram)

Ritual simbolik memotong batang pisang sebagai lambang tubuh Imam Husain.

3. Manggantung Tali-Tali (7 Muharram)

Menghias kerangka tabuik dengan hiasan tali-tali sebagai simbol pengangkatan jenazah ke langit.

4. Naik Pangkek (8-9 Muharram)

Prosesi menaikkan dan menyatukan semua bagian tabuik. Proses ini juga menunjukkan persiapan menjelang pertempuran akhir.

5. Hoyak Tabuik (10 Muharram)

Tabuik diarak keliling kota oleh ratusan orang. Arakan disertai musik tradisional dan sorak sorai rakyat. Arak-arakan tabuik sangat meriah dan bisa berlangsung hingga malam hari.

6. Membuang Tabuik ke Laut

Puncak perayaan adalah membuang tabuik ke laut, sebagai simbol pelepasan arwah Imam Husain dan penyerahan kepada Tuhan. Ini juga melambangkan akhir dari duka cita.

  • Transformasi Jadi Festival Nasional

Seiring waktu, tabuik berkembang menjadi festival budaya nasional, bukan lagi ritual keagamaan. Pemerintah kota Pariaman dan Kementerian Pariwisata menjadikan Festival Tabuik sebagai bagian dari kalender wisata tahunan Indonesia.

Tabuik kini tidak hanya menjadi ajang spiritual dan budaya, tetapi juga sumber ekonomi kreatif, pariwisata, dan pelestarian warisan leluhur. Ribuan wisatawan lokal dan mancanegara hadir menyaksikan kemegahan festival ini setiap tahunnya.

Pada tahun-tahun terakhir, festival ini mendapat penghargaan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

  • Warisan Budaya yang Terus Hidup

Tabuik bukan sekadar perayaan, tetapi simbol kebersamaan, nilai-nilai kepahlawanan, dan akulturasi budaya yang damai. Meskipun berasal dari luar Sumatera, tabuik telah menjadi identitas masyarakat Pariaman dan sumber kebanggaan budaya Minangkabau yang tetap hidup dan berkembang hingga kini.

“Manusia bisa lupa sejarah, tapi tradisi akan mengingatkan mereka kembali akan asal dan nilai-nilai kemanusiaan.”

Berikut adalah kontroversi seputar tradisi Tabuik Pariaman, yang muncul dari berbagai sisi—agama, budaya, dan sosial. Meskipun kini telah menjadi festival budaya yang megah, perjalanan tabuik tidak lepas dari pro dan kontra:

  • Kontroversi Tabuik Pariaman

1. Asal-Usul Syiah vs Mayoritas Sunni

Tabuik berasal dari tradisi Syiah, yang memperingati Asyura sebagai hari duka atas wafatnya Imam Husain. Sementara mayoritas masyarakat Minangkabau adalah Muslim Sunni, sebagian kalangan menganggap tabuik sebagai warisan ajaran Syiah yang tidak sesuai dengan aqidah Sunni.

Kritik umum :

Ini bukan bagian dari ajaran Islam Sunni. Ini ritual yang bercampur antara mitos, khurafat, dan budaya luar.”

Respons pendukung :

“Tabuik sudah menjadi budaya lokal, bukan lagi syiar Syiah. Ini simbol perjuangan dan kebersamaan, bukan ibadah.”

2. Unsur Mitos dan Khurafat

Beberapa kalangan ulama dan ormas Islam menilai bahwa tabuik mengandung unsur khurafat dan tahayul, seperti :

  1. Keyakinan bahwa Buraq datang menjemput ruh Husain,
  2. Ritual membuang tabuik ke laut agar arwah tenang,
  3. Bentuk tabuik yang menyerupai makhluk gaib bersayap.

Hal ini dianggap bertentangan dengan tauhid, karena menyamakan tradisi dengan keyakinan spiritual tertentu yang tidak berdasar Al-Qur’an dan Sunnah.

3. Perubahan Makna : Dari Ritual Keagamaan ke Wisata Massal

Ada juga pihak yang mengkritik bahwa tabuik telah kehilangan makna spiritual dan historisnya, dan kini lebih condong ke pariwisata hiburan :

“Masyarakat hanya fokus pada arakan dan tontonan. Tidak ada lagi penghayatan tentang nilai-nilai pengorbanan Imam Husain.”

Beberapa menganggap tabuik hanya jadi ajang euforia, konser musik, bahkan kemaksiatan, yang justru bertentangan dengan semangat asli peristiwa Karbala.

4. Persaingan dan Konflik Antarkelompok

Tradisi tabuik dibuat oleh dua kelompok utama: Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Di masa lalu, rivalitas ini sempat menimbulkan konflik fisik, bahkan perkelahian saat arak-arakan. Pemerintah daerah sempat melarang tabuik beberapa kali, terutama pada masa Orde Baru (1970–1990-an) karena dianggap mengganggu ketertiban.

Namun kini, konflik tersebut sudah diminimalkan dengan mediasi adat dan peran pemerintah kota dalam menyatukan dua komunitas.

5. Ketegangan antara Adat, Agama, dan Negara

Tabuik menjadi ruang tarik-menarik antara :

  • Kelompok adat yang ingin menjaga tabuik sebagai warisan budaya Minangkabau,
  • Kelompok agama konservatif yang menganggap tabuik sebagai bentuk penyimpangan aqidah,
  • Pemerintah yang melihat tabuik sebagai potensi ekonomi pariwisata.

Situasi ini menciptakan ketegangan terselubung soal identitas dan otoritas budaya, terutama di kalangan muda Minang yang lebih religius dan global.

Kesimpulan :

Tradisi Tabuik Pariaman adalah cermin kerumitan budaya Indonesia, di mana agama, adat, sejarah, dan politik bertemu dan saling tarik-menarik. Kontroversi yang mengiringinya menunjukkan bahwa pelestarian budaya tidak hanya soal menjaga bentuk luar, tetapi juga memahami, mengkritisi, dan memaknai ulang nilai-nilainya di tengah zaman yang berubah.

125 Dilihat
Berita Terbaru
Berita Terbaru
Kabar Daerah
Terpopuler
Pengunjung