Jakarta — Andalasnews.com. Kritik keras kembali menyeruak terhadap lembaga kejaksaan. Sejumlah pakar hukum menilai institusi ini tengah menghadapi krisis moral dan profesionalitas, setelah muncul dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum jaksa dalam beberapa kasus.
Pakar hukum nasional SJ menegaskan bahwa tindakan penggeledahan dan penyitaan bukan merupakan kewenangan jaksa, melainkan wewenang penyidik, khususnya kepolisian atau lembaga penyidik lain yang diatur oleh undang-undang.
“Jaksa tidak memiliki hak dan wewenang menyita atau menggeledah tempat orang lain tanpa izin dari pemilik atau tanpa dasar hukum yang sah. Meski memiliki jabatan tinggi, jaksa tetap tunduk pada batas tugasnya, yaitu menuntut, bukan menyidik,” tegas SJ kepada awak media melalui pesan WhatsApp.
Menurut SJ, tindakan jaksa yang melakukan penggeledahan tanpa izin pemilik dan tanpa surat perintah resmi dari pengadilan berpotensi melanggar hukum pidana serta mencederai prinsip keadilan.
Dasar Hukum yang Mengatur Prosedur Penggeledahan dan Kewenangan Jaksa
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), wewenang penggeledahan diatur secara tegas:
Pasal 32 KUHAP: “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penggeledahan rumah terhadap tempat tertentu.”
Pasal 33 KUHAP: “Penggeledahan rumah dilakukan dengan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak.”
Pasal 34 KUHAP: “Dalam hal penggeledahan dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri, penyidik wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan persetujuan.”
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang memiliki kewenangan melakukan penggeledahan hanyalah penyidik, bukan jaksa.
Sementara itu, tugas dan kewenangan Jaksa diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, di antaranya:
Pasal 30 ayat (1): “Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat.”
Pasal 30 ayat (2): “Jaksa dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam undang-undang.”
Namun SJ menegaskan, kewenangan penyidikan oleh jaksa tersebut sangat terbatas, hanya pada kasus-kasus khusus, seperti tindak pidana korupsi atau pelanggaran hak asasi manusia berat, dan tetap harus sesuai prosedur hukum.
SJ: Penyitaan dan Penggeledahan Tanpa Izin Adalah Pelanggaran Pidana
Menurut SJ, jika seorang jaksa melakukan penggeledahan tanpa surat izin pengadilan dan tanpa persetujuan pemilik rumah, maka tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
“Kalau jaksa sampai masuk ke rumah orang dan menyita barang tanpa izin, itu sudah masuk ranah pidana umum. Ini sangat memalukan dan merusak citra lembaga hukum,” tegasnya.
Lebih jauh SJ menyoroti bahwa fenomena ini menunjukkan tata kelola hukum di Indonesia sedang berada dalam situasi darurat moral.
“Sekarang seakan jaksa lebih tinggi dari penyidik dan hakim. Padahal dalam sistem hukum, ada pembagian peran yang jelas: penyidik mencari bukti, jaksa menuntut, dan hakim mengadili. Kalau semua diambil alih jaksa, hukum akan kehilangan keseimbangan,” ujarnya.
Rakyat Menjerit, Keadilan Dipertaruhkan
SJ menilai, kondisi ini menjadi potret suram dunia penegakan hukum di Indonesia. Rakyat semakin sulit mempercayai proses hukum yang sering kali dianggap bisa “dibeli”.
“Hukum dibuat sesuka hati. Keadilan dijadikan alat kekuasaan. Kalau lembaga hukum seperti kejaksaan sudah tidak taat hukum, rakyat akan terus menjerit,” tutup SJ dengan nada kecewa.
Penggeledahan dan penyitaan tanpa surat izin pengadilan merupakan pelanggaran hukum prosedural dan berpotensi mengarah pada penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP, yaitu:
“Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa seseorang melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Jurnalis: irawatie





