PADANG PARIAMAN – ANDALASNEWS.com, Pekan Budaya Nagari Katapiang (PKD) yang diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat dan niniak mamak Nagari Katapiang, resmi ditutup dengan sukses pada Jumat malam, 12 Juli 2025. Acara ditutup dengan pidato penuh semangat oleh tokoh adat RK Rajo Sampono yang menyuarakan kebanggaan terhadap budaya dan solidaritas masyarakat Katapiang.
Namun di balik keberhasilan pelaksanaan acara tersebut, tersimpan dinamika panas yang menyulut polemik publik dan ketegangan antara niniak mamak Katapiang dan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman.
Awalnya, gelaran budaya ini direncanakan akan didukung penuh oleh Pemkab Padang Pariaman. Namun secara mengejutkan, Bupati Padang Pariaman Jhon Kennedy Aziz membatalkan dukungan secara sepihak dengan alasan efisiensi anggaran sebagai bagian dari instruksi kebijakan nasional di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Pernyataan pembatalan ini sontak menimbulkan reaksi keras. Kekecewaan mendalam disampaikan oleh para niniak mamak dan tokoh adat Katapiang. Mereka merasa tidak dihargai, bahkan dianggap diabaikan oleh pemerintah daerah. Masyarakat pun mengambil alih pelaksanaan PKD secara swadaya, yang justru sukses besar dan mendapat sambutan luas.
“Ini soal marwah dan harga diri. Ketika pemerintah daerah menarik diri, kami tidak mundur. Kami buktikan bahwa anak Nagari Katapiang bisa berdiri di atas kaki sendiri,” tegas salah satu niniak mamak saat ditemui Andalasnews.com.
Media Sosial Memanas, Buzzer Cap Lambuang Ikut Meramaikan
Situasi makin membara ketika perdebatan di media sosial pecah. Banyak warganet menyuarakan pendapatnya, ada yang membela sikap bupati, namun tak sedikit pula yang memihak kepada niniak mamak dan RK Rajo Sampono. Sejumlah buzzer dengan julukan “cap lambuang” turut menyulut diskusi dengan narasi yang memecah belah.
Tak berhenti sampai di situ, muncul pula komentar dari sejumlah pengamat dadakan yang menyampaikan opini berdasarkan potongan-potongan informasi, tanpa memahami utuh akar masalah yang terjadi.
Kontroversi Etnis dan Ancaman Hukum
Ketegangan meningkat tajam setelah seorang ketua tim sukses salah satu bakal calon kepala daerah berinisial W.F menyatakan bahwa ia akan melaporkan RK Rajo Sampono ke pihak kepolisian. Tuduhannya: ucapan Rajo Sampono dalam pidato penutupan PKD dinilai menyinggung salah satu etnis, yakni etnis Jawa.
Pernyataan W.F ini dianggap sebagai pemicu baru yang tidak menyelesaikan persoalan, bahkan berpotensi memperkeruh suasana. Tokoh adat dan pemuda Katapiang langsung bereaksi. Emir Syah Rajo Panyinggahan, salah satu kamanakan RK Rajo Sampono, secara terbuka menyatakan siap mempertahankan kehormatan tokoh adat mereka.
“Kami akan layani ancaman itu. Kalau perlu kami pasang badan demi urang tuo kami. Ini bukan soal pribadi, tapi harga diri Nagari,” tegas Emir Syah kepada Andalasnews.com.
Rapat Dengar Pendapat dengan DPRD Gagal Capai Kesepakatan
Sebagai respons terhadap gejolak yang terjadi, pada hari Senin, 13 Juli 2025, dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara perwakilan niniak mamak Nagari Katapiang dengan DPRD Padang Pariaman. Pihak pemerintah daerah diwakili oleh Sekretaris Daerah, bukan langsung oleh Bupati Jhon Kennedy Aziz.
RDP yang berlangsung sejak pukul 14.00 WIB hingga malam hari tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Niniak mamak meminta dua hal utama:
1. Bupati meralat pernyataannya yang menyebut bahwa pembatalan acara berasal dari permintaan Nagari Katapiang sendiri.
2. Bupati datang langsung untuk menghadap dan meminta maaf kepada para niniak mamak serta meluruskan informasi di media.
“Dima dimulai, disitu dihakiri. Kalau dari pemerintah tidak ada niat baik, persoalan ini tidak akan selesai,” ujar salah satu tokoh masyarakat Katapiang yang enggan disebut namanya.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari DPRD maupun Bupati Padang Pariaman. Masyarakat dan tokoh adat masih menunggu sikap jelas dari pemerintah daerah terkait tuntutan moral dan etika terhadap pemimpin daerah mereka.
Pekan Budaya Nagari Katapiang 2025 bisa jadi telah selesai secara kegiatan, namun getarannya masih akan terasa lama. Apa yang terjadi bukan sekadar soal anggaran dan acara budaya, melainkan tentang pengakuan, harga diri, dan hubungan antara pemerintah dan rakyatnya—khususnya di tingkat nagari.
Sebagaimana disampaikan salah satu niniak mamak:
“Kami bukan minta dihormati, tapi jangan pula kami dipermalukan. Kalau pemerintah tidak bisa menghargai kami, biarlah kami berdiri sendiri, tapi jangan pernah anggap kami lemah.”
Liputan eksklusif Andalasnews.com – J.F.T | Editor: Redaksi Andalasnews








