Andalasnews.com – Fenomena Projo (Pro Jokowi) dan kelompok-kelompok “pro” sejenis yang tumbuh dan dirawat secara sistematis dalam sepuluh tahun masa kuasa pemerintahan Presiden Joko Widodo, bukan sekadar sebuah anomali sesaat dalam lanskap politik nasional. Lebih dari itu, fenomena ini dapat dilihat sebagai bentuk “pelecehan” terselubung terhadap prinsip-prinsip organisasi dan sistem politik demokratis modern yang selama ini kita junjung.
Hak untuk berserikat dan berkumpul adalah hak fundamental setiap warga negara, yang secara tegas dijamin oleh konstitusi negara demokrasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Begitu pula halnya dengan hak untuk berserikat dan berkumpul demi tujuan mewadahi aspirasi atau hak-hak politik. Dalam tatanan ini, sistem politik demokratis secara lazim dan alamiah menempatkan organisasi tersebut dalam bentuk partai politik.
Dalam sistem dan tatalaksana politik modern, partai politik adalah unsur utama yang esensial untuk mendukung dan menjalankan sistem politik demokratis. Ia bukan hanya berfungsi sebagai wadah kaderisasi politik dan mekanisme rekrutmen kepemimpinan, namun juga berperan vital dalam penyaluran aspirasi publik, perumusan kebijakan, dan konsolidasi organisasi politik yang terstruktur dari tingkat pusat hingga daerah.
Namun, fenomena lahir dan dirawatnya kelompok-kelompok pendukung militan selama masa pemilihan umum yang kemudian bertransformasi menjadi organisasi pendukung kekuasaan pasca pemilu, adalah sebuah “kesungsangan” mendasar, baik dari ide maupun sisi praksis politik. Kelompok-kelompok ini berfungsi layaknya parasit dalam sistem politik, karena secara langsung atau tidak langsung mereduksi fungsi dan peran substantif partai politik. Mereka menciptakan dualisme loyalitas dan jalur pengaruh yang membingungkan, melemahkan peran partai politik sebagai pilar utama demokrasi.
Fenomena organisasi sejenis ini, jika tidak segera “diamputasi” atau dinormalisasi perannya dalam ekosistem politik, bukan hanya akan mengganggu dinamisasi politik demokrasi yang sehat. Parahnya, karena motif politik praktis dan kedekatannya dengan pusat kekuasaan, kelompok-kelompok ini berpotensi menjadi alat disintegrasi sosial, alias alat “pemukul” atau adu domba oleh pihak penguasa untuk menekan oposisi atau suara kritis.
Kekuasaan dan kuasa politik yang secara sah dimulai dan dimenangkan melalui mekanisme partai politik, sudah seharusnya dikawal dan dipertanggungjawabkan melalui saluran partai politik pula. Jika kita membiarkan peran pengawalan kekuasaan tersebut diambil alih oleh organisasi di luar struktur partai politik, maka sudah saatnya kita mengevaluasi kembali keberadaan partai politik itu sendiri. Bahkan, bila perlu, kita bubarkan saja partai politik yang ada, lalu kita sepakati konsep politik baru ala “Konoha”? Tentu saja tidak. Penguatan peran partai politik adalah keharusan untuk menjaga marwah demokrasi kita.
Jurnalis : ZULNAIDI S.H BAGINDO SAILAN (Biro Hukum Andalasnews)
Editor : Admin Andalas





