Andalasnews.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menuai kritik usai menyinggung soal gaji guru dan dosen dalam pidatonya di Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri di ITB.
Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menyatakan bahwa rendahnya gaji guru dan dosen merupakan tantangan keuangan negara. Ia bahkan mempertanyakan, apakah seluruh pembiayaan harus ditanggung negara, atau sebaiknya melibatkan partisipasi masyarakat.
Paradigma Kapitalisme: Rakyat Sebagai Beban
Paradigma kapitalisme sejak awal memang memandang rakyat, terutama yang miskin, sebagai beban negara. Secara teoritis, Adam Smith – penggagas ekonomi klasik – menekankan konsep invisible hand (tangan tak terlihat), bahwa negara tidak perlu banyak campur tangan dalam urusan ekonomi. Semuanya dibiarkan berjalan dengan prinsip laissez faire, laissez passer (biarkan berbuat, biarkan terjadi).
David Ricardo kemudian menyempurnakan teori tersebut: campur tangan pemerintah sebatas pada urusan moneter dan fiskal. Artinya, negara tidak berkewajiban mengurusi kesejahteraan rakyat, melainkan hanya sebagai regulator—penarik pajak, pengatur suku bunga, dan penjaga stabilitas mata uang.
Subsidi dalam sistem kapitalisme dianggap membebani negara dan memanjakan rakyat. Relasi negara dengan rakyat akhirnya hanya sebatas hubungan dagang: untung dan rugi. Ironisnya, konsep ini tidak berlaku untuk oligarki dan para kapitalis. Mereka justru dengan mudah mendapat bailout, fasilitas, dan subsidi dari penguasa.
Jika pun ada bantuan kepada rakyat, biasanya sarat motif politis: untuk meredam potensi perlawanan atau sekadar meraup simpati menjelang pemilu.
Inilah wajah culas kapitalisme. Negara enggan mengurus rakyatnya, tetapi di saat yang sama mencekik mereka dengan berbagai pungutan dan pajak yang dilegalkan undang-undang. Maka, ketika Sri Mulyani menyebut guru sebagai beban negara, sebenarnya ia sedang jujur mengungkap hakikat kapitalisme itu sendiri.
Guru dalam Pandangan Islam
Islam memandang guru memiliki posisi mulia. Mereka adalah pendidik umat, penyelamat kehidupan dunia dan akhirat. Karena itu, Islam menempatkan guru pada posisi terhormat, termasuk dalam hal penghargaan materi.
Dalam sejarah, Khalifah Umar bin Khattab memberikan gaji guru anak-anak sebesar 15 dinar per bulan—jika dikonversi saat ini, setara sekitar Rp67,5 juta per bulan. Jumlah yang jelas menjamin kesejahteraan, bahkan hingga kebutuhan sekunder dan tersier.
Lebih dari itu, dalam sistem Islam, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur disediakan gratis oleh negara. Maka, hidup rakyat dan guru benar-benar sejahtera di bawah naungan syariat Islam.
Sayangnya, di negeri ini hal tersebut hanya tinggal mimpi, selama sistem kapitalisme tetap diterapkan.
Konstitusi: Negara Wajib Sejahterakan Rakyat
Padahal, amanat UUD 1945 sangat jelas menegaskan kewajiban negara untuk menyejahterakan rakyat:
1. Pasal 27 ayat (2): “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
2. Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan memperoleh pelayanan kesehatan.”
3. Pasal 34 ayat (1): “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Artinya, negara tidak boleh lepas tangan, Ia wajib menyediakan lapangan kerja, jaminan sosial, serta mengatasi kemiskinan dan kesenjangan.
Harapan Rakyat
Kini rakyat menanti janji Presiden Prabowo Subianto untuk membawa perubahan nyata. Bukan sekadar retorika, tetapi kebijakan konkret yang memastikan guru dan rakyat tidak lagi dipandang sebagai “beban negara”, melainkan sebagai aset bangsa yang harus disejahterakan
Redaksi Andalasnews.com