Pusat pesta pora, Daerah Dipaksa memeras Rakyatnya
Rancangan APBN 2026 resmi diumumkan pemerintah pusat hal ini seperti mencekik daerah. Anggaran Transfer ke Daerah (TKD) dipotong besar-besaran, dari Rp.919,9 triliun di 2025 menjadi hanya Rp.650 triliun di 2026. Itu artinya, daerah kehilangan lebih dari seperempat anggaran pendapatan yang selama ini menopang APBD.
Yang menyakitkan adalah turunnya Dana Bagi Hasil (DBH) dari Rp.192,3 triliun menjadi Rp.45,1 triliun. Padahal, DBH adalah instrumen paling adil karena mengembalikan sebagian hasil Sumber Daya Alam (SDA) ke daerah penghasil. artinya kalau minyak, gas, batubara, hutan, dan sumber daya lain dikeruk habis habisan dari daerah, tapi hasilnya tidak dikembalikan ke daerah untuk memakmurkan masyarakat setempat Inilah pengkhianatan terang-terangan: yang dilakukan pusat terhadap daerah pusat menjarah kekayaan daerah, lalu menggunakannya untuk belanja kementerian yang semakin gemuk.
Sangat Ironis, alokasi untuk Belanja Pemerintah Pusat (BPP) justru naik 18 persen, dari Rp.2.663,4 triliun menjadi Rp.3.136,5 triliun. Kementerian makin pesta pora, sementara daerah diperas . Alasan klasik yang dilontarkan pemerintah pusat dengan entengnya mengatakan adalah “untuk mendukung program prioritas nasional dan membantu Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).”
Retorika terdengar manis di telinga, tapi siapa yang menjamin program kementerian di pusat lebih tepat sasaran ketimbang belanja langsung pemerintah daerah yang lebih memahami persoalan warganya dari pada pusat
Kebijakan ini jelas menjerumuskan daerah ke dalam krisis fiskal. Pemerintah daerah yang kehilangan porsi besar TKD akan berpikir pendek: menutup defisit dengan menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Cara paling gampang? Adalah menaikkan pajak dan retribusi daerah. Maka rakyatlah yang jadi korban. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang gila-gilaan adalah contoh paling nyata. Jika dibiarkan, tren ini akan merembet ke pajak kendaraan, retribusi layanan, hingga pungutan kecil yang lain makin mencekik masyarakat.
Apakah pemerintah pusat sadar bahwa dengan kebijakan ini mereka mendorong daerah berubah jadi pemeras rakyatnya”? Alih-alih memperkuat otonomi daerah, pusat justru lepas tanggung jawab. Alih-alih menyejahterakan rakyat, pusat justru menyalakan konflik berkepanjangan dan ilang nya kepercayaan daerah terhadap pusat
Bagi pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota se-Indonesia—kecuali mungkin daerah kaya seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur—RAPBN 2026 adalah kabar buruk. RKPD 2026 (RAPBD 2026) harus disusun dengan skenario kehilangan besar. Empat dampak paling nyata sudah di depan mata:
Dana Perimbangan ke daerah turun drastis. DAU, DAK, DBH, Dana Desa—semuanya menyusut, memukul struktur APBD dan APBDes.
Harmonisasi program terpaksa tunduk. Daerah dipaksa menyesuaikan diri dengan program kementerian, bukan sebaliknya.
Efisiensi anggaran jadi jalan terjal. Pemerintah daerah harus memangkas belanja umum, memilih hanya kegiatan “super prioritas”, yang ujung-ujungnya banyak program publik terpangkas.
Politisasi PAD. Pemerintah daerah akan mati-matian mencari sumber pendapatan baru daerah, entah dari pajak, retribusi, atau pungutan lain yang ujungnya membebani masyarakat.
Jika persoalan ini terus berlanjut, maka otonomi daerah hanya omong kosong. Daerah bukan lagi motor pembangunan, melainkan keranjang sampah kebijakan pusat. Sumber daya alam diangkut, hasilnya untuk pusat, sedangkan daerah hanya mewarisi kerusakan alamnya lubang tambang, jalan rusak, dan rakyat yang diperas dengan pajak yang menggila.
Pertanyaan paling mendasar untuk siapa APBN 2026 ini sebenarnya dibuat ? Untuk rakyat didaerah yang menjadi tulang punggung republik, atau untuk birokrat sedangkan kementerian bersembunyi di balik program “prioritas nasional”?
Ingat Sejarah akan mencatat, pengurangan DBH dan TKD adalah bentuk nyata pengkhianatan pusat terhadap daerah. Pengkhianatan ini bisa menjadikan bara ketidakpuasan, sebab masyarakat daerah tidak mau diam terus menerus melihat kekayaan alamnya dikeruk tapi kesejahteraannya dikorbankan.
Sebaiknya pemerintah pusat mengevaluasi seluruh kebijakan yang akan menimbulkan krisis panjang terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepannya
PENULIS : JONFRIZAL TANJUNG